Hello Kroaker :) How are you this day..? FIne..? YUp berhubungan orang yang bisa mengendalikan diri adalah orang yang paling hebat di muka DUNIA ! karena Musuh Terbesar kita adalah diri kita sendiri, terkadang kita tidak bisa mengatur diri kita sendiri, dan justru diri kita sendirilah yang mengatur kita, kita harus mengatur diri kita sendiri supaya lebih produktive :)
Ada Artikel yang menarik disini bagaimana cara kita mengontrol ataupun mengendalikan diri kita sendiri :)
Dalam proses evaluasi para calon pimpinan perusahaan, kebanyakan penilaian akhir dari team penilai para calon kandidat adalah pada beberapa faktor yakni:
1Leadership Skill => Keahlian memimpin
2Teamwork Skill => Keahlian bekerjasama
3Analytical Skill => Ketrampilan menganalisa permasalahan
4Tactical & Strategic Skill => Keahlian taktis dan strategis
5 Maturity Level => Level Kedewasaan, mencakup di dalamnya Emotional Intelegence, Managing Psychological War, dlsb.
Dari semua aspek, tersebut, umumnya penilaian akhir paling berat adalah pada nomer lima, selain nomer satu. Artinya, level kedewasaan sikap seseorang yang menentukan berhak tidaknya yang bersangkutan memimpin suatu unit organisasi, bisnis ataupun lembaga tertentu (tentu saja di sini kita berbicara mengenai penilaian yang obyektif).
Namun tidak semua orang, mampu menguasai dirinya sendiri secara penuh waktu dan terus-menerus (mastering him/her self). Adakalanya seseorang jatuh ke dalam pencobaan, entah itu godaan duniawi, ataupun godaan emosional, atau lainnya.
Sebenarnya, seseorang pimpinan tidak boleh tidak marah, namun juga tidak boleh terus-menerus marah karena marah itu harus ada level dan kontrolnya secara tepat dan benar. Dan adalah wajib seseorang jika menyandang posisi strategis dan penting untuk tetap sadar diri, waras, dan terkontrol dalam meluapkan amarahnya.
Emosi itu sendiri sebenarnya bisa dikontrol, dan dilatih untuk terkontrol. Bahkan yang namanya godaan nafsu duniawi dan badaniah juga bisa dikontrol secara baik dan benar jika kita benar-benar mau berlatih untuk sadar diri 100%.
Latihan untuk mengontrol dan menguasai diri sendiri, bisa dengan berbagai cara dan juga bermacam metoda kombinasi. Namun dalam step-stepnya ada rumusan baku yang perlu dipahami, yakni:
Kenali diri sendiri terlebih dahulu. Sebelum mencoba menguasai keadaan dan juga diri sendiri, cobalah untuk mengenali diri sendiri, batasan tempramentalnya, batasan godaannya, dan lain sebagainya. Karena setiap orang ada limitnya sendiri-sendiri, dan hanya dia sendiri yang tahu pada titik mana dia goyah.
Belajar menerima segala kelemahan dan ketidakberdayaan itu. Hanya dengan mengakui dan menerima kekurangan kita dan segala kelemahan kita terhadap godaan dari luar dan dari dalam diri sendiri, kita bisa memahami diri kita dan menguasainya.
Belajar mengontrol kehendak dan fokus pada titik yang ingin dicapai. Hal ini umumnya luar biasa sulit, dan memang bagian terberat dalam latihan penguasaan diri. Kebanyakan para ahli spiritual dan kebathinan belajar atau berlatih dengan bersemedi sambil menatap mata pada cermin berlama-lama tanpa berkedip atau melihat nyala lilin tanpa berkedip, atau berlatih meditasi dengan duduk bersimpuh atau duduk di atas kursi paku / tempat tidur paku. Namun sebenarnya tidak perlu hal ekstrim seperti yang dilakukan para fakir spritual, ada banyak cara lainnya, seperti belajar fokus pada bacaan di tengah keramaian juga cara yang baik. Atau belajar mengendalikan nafsu lapar mata untuk tidak menyemil, juga latihan yang bagus.
Melatih ketrampilan penguasaan diri dalam medan sebenarnya. Ada pepatah, yang mengatakan, practice what you learn. Tanpa ujian diri sendiri atau mencoba menyeburkan diri dalam godaan yang lebih besar dan lebih nyata, semua teori tadi sia-sia belaka. Seorang pertapa tidak bisa disebut ahli spritual jika tidak bisa bertahan dari godaan nafsu duniawi sepanjang malam, atau seorang penegak hukum tidak bisa dikatakan mampu menguasai keadaan jika terpancing oleh kata-kata demonstran.
Yang terakhir, menyadari bahwa itu semua dilakukan bukan untuk uji tahan godaan dan cobaan, akan tetapi dilakukan dengan penuh rasa cinta akan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Ini paling penting, karena semua keteguhan iman dan kontrol diri akan sia-sia jika tanpa rasa kecintaan akan tanggung jawab yang diamanatkan.
Semoga uraian di atas dapat bermanfaat bagi diri kita semua. Sebagai catatan, urutan dasar penguasaan diri di atas lazim dipraktekan pada sejumlah perguruan bela diri ataupun silat.
Mereka yang mengingkari Tuhan
mengingkari diri dan kemuliaan mereka sendiri. Setiap orang mempunyai
rasa kasih sayang dalam hatinya, dalam berbagai bentuk, baik terhadap
anak-anak, orang miskin, pekerjaan dan tujuan mereka. Kasih sayang itu
adalah Tuhan, percikan ke-Ilahi-an di dalam diri mereka. Betapa pun
kecilnya atau pun hanya kadang-kadang, mereka mempunyai ananda, yaitu
sepercik cahaya Tuhan dan ke-Ilahi-an. Mereka memiliki santhi,
ketidakterikatan, simpati. Semua ini adalah pantulan ke-Ilahi-an pada
cermin pikiran mereka. Ini semuanya adalah kesempurnaan mental yang
diperlihatkan melalui penghargaan dan faedah kebajikan. Santhi atau
ketenangan yang dilakukan karena tidak berdaya, seperti pada kasus
pencuri dalam kisah Tenali Ramakrishna, itu tidaklah benar. Seorang
pencuri memperlihatkan ketenangan yang luar biasa dan sahana, tenang dan
tabah!
Ketika
mengetahui bahwa ada seorang pencuri masuk ke kebunnya di malam hari
dan bersembunyi di bawah semak-semak “labu ular” di dekat sumur,
Ramakrishna memanggil istrinya. Dimintanya ember dan seutas tali agar ia
dapat mengambil air sumur. Istrinya menimba air dan memberikan ember
itu kepadanya. Pencuri itu memperhatikan sambil meringkuk dalam
kegelapan, berharap aga suami istri itu cepat masuk ke dalam rumah. Ia
merencanakan nantinya akan masuk dan mengumpulkan barang curiannya tanpa
tertangkap. Sementara itu Ramakrishna berpura-pura ada sesuatu dalam
kerongkongannya. Ia menuangkan air ke mulutnya, berkumur keras-keras dan
meludah 'ke semak labu ular' tepat di tempat pencuri itu meringkuk! Air
itu tepat kena wajahnya, dan itu memang yang dikehendaki Tenali
Ramakrishna. Orang yang malang itu tidak dapat melarikan diri atau
memprotes. Ia terlalu takut untuk bergerak. Ia memperlihatkan ketabahan
yang sempurna. Tetapi, apakah engkau menyebut hal ini sebagai kebajikan?
Apa engkau menghargainya karena itu? Ia digerakkan oleh rasa takut,
bukannya oleh kepercayaan. Santhi dan Sahana semacam itu tidak ada
gunanya sama sekali. Latihlah menguasai diri sendiri dengan iman yang
teguh, maka itu akan menjadi sumber kekuatan.
