*Elang Gumilang, Mahasiswa Bangun
Perumahan untuk Orang Miskin Demi
Keseimbangan Hidup*
dijangkau oleh kalangan menengah
ke atas saja. Jarang sekali developer yang
membangun perumahan yang memang
dikhususkan bagi orang-orang kecil. Elang
Gumilang (22), seorang mahasiswa
yang memiliki jiwa wirausaha tinggi
ternyata memiliki kepedulian
tinggi terhadap kaum kecil yang tidak memiliki
rumah. Meski bermodal pas-pasan,
ia berani membangun perumahan khusus untuk
orang miskin. Apa yang
mendasarinya?
Jumat sore (28/12), suasana
Institut Pertanian bogor (IPB), terlihat
lengang. Tidak ada geliat
aktivitas proses belajar mengajar. Maklum hari
itu, hari tenang mahasiswa untuk
ujian akhir semester (UAS). Saat Realita
melangkahkah kaki ke gedung
Rektorat, terlihat sosok pemuda berperawakan
kecil dari kejauhan langsung
menyambut kedatangan Realita. Dialah Elang
Gumilang (22), seorang wirausaha
muda yang peduli dengan kaum miskin. Sambil
duduk di samping gedung Rektorat,
pemuda yang kerap disapa Elang ini,
langsung mengajak Realita ke
perumahannya yang tak jauh dari kampus IPB.
Untuk sampai ke perumahan
tersebut hanya membutuhkan waktu 15 menit dengan
menggunakan kendaraan roda empat.
Kami berhenti saat melewati deretan rumah
bercat kuning tipe 22/60. Rupanya
bangunan yang berdiri di atas lahan 60
meter persegi itu adalah perumahan
yang didirikannya yang diperuntukan
khusus bagi orang-orang miskin.
Setelah puas mengitari perumahan, Elang
mengajak Realita untuk
melanjutkan obrolan di kantornya.
Elang sendiri merupakan anak
pertama dari tiga bersaudara pasangan H. Enceh
(55) dan Hj. Prianti (45). Elang
terlahir dari keluarga yang lumayan berada,
yaitu ayahnya berprofesi sebagai
kontraktor, sedangkan ibunya hanya ibu
rumah tangga biasa. Sejak kecil
orang tuanya sudah mengajarkan bahwa segala
sesuatu diperoleh tidak dengan
gratis. Orang tuanya juga meyakinkan bahwa
rezeki itu bukan berasal dari
mereka tapi dari Allah SWT..
Ketika duduk di bangku Sekolah
Dasar Pengadilan 4, Bogor, Elang sudah
mengikuti berbagai perlombaan dan
bahkan ia pernah mengalahkan anak SMP saat
lomba cerdas cermat. Karena
kepintarannya itu, Elang pun menjadi anak
kesayangan guru-gurunya.
Begitu pula ketika masuk SMP I
Bogor, SMP terfavorit di kabupaten Bogor,
Elang selalu mendapatkan
rangking. Pria kelahiran Bogor, 6 April 1985 ini
mengaku kesuksesan yang ia raih
saat ini bukanlah sesuatu yang instan.
“Butuh proses dan kesabaran untuk
mendapatkan semua ini, tidak ada sesuatu
yang bisa dicapai secara instan,”
tegasnya. Jiwa wirausaha Elang sendiri
mulai terasah saat ia duduk di
bangku kelas 3 SMA I Bogor, Jawa Barat. Dalam
hati, Elang bertekad setelah
lulus SMA nanti ia harus bisa membiayai
kuliahnya sendiri tanpa
menggantungkan biaya kuliah dari orang tuanya. Ia
pun mempunyai target setelah
lulus SMA harus mendapatkan uang Rp 10 juta
untuk modal kuliahnya kelak.
Berjualan Donat. Akhirnya, tanpa
sepengetahuan orang tuanya, Elang mulai
berbisnis kecil-kecilan dengan
cara berjualan donat keliling. Setiap hari ia
mengambil 10 boks donat
masing-masing berisi 12 buah dari pabrik donat untuk
kemudian dijajakan ke Sekolah
Dasar di Bogor. Ternyata lumayan juga. Dari
hasil jualannya ini, setiap hari
Elang bisa meraup keuntungan Rp 50 ribu.
Setelah berjalan beberapa bulan,
rupanya kegiatan sembunyi-sembunyiny a ini
tercium juga oleh orang tuanya.
“Karena sudah dekat UAN (Ujian Akhir
Nasional), orang tua menyuruh
saya untuk berhenti berjualan donat. Mereka
khawatir kalau kegiatan saya ini
mengganggu ujian akhir,” jelas pria
pemenang lomba bahasa sunda tahun
2000 se-kabupaten Bogor ini.
Dilarang berjualan donat, Elang
justru tertantang untuk mencari uang dengan
cara lain yang tidak mengganggu
sekolahnya. Pada tahun 2003 ketika Fakultas
Ekonomi dan Manajemen IPB
mengadakan lomba Java Economic Competion se-Jawa,
Elang mengikutinya dan berhasil
menjuarainya. Begitu pula saat Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia
(UI) menyelenggarakan kompetisi Ekonomi, Elang
juga berhasil menjadi juara
ke-tiga. Hadiah uang yang diperoleh dari setiap
perlombaan, ia kumpulkan untuk
kemudian digunakan sebagai modal kuliah.
Setelah lulus SMU, Elang melanjutkan
kuliah di Fakultas Ekonomi IPB
(Institut Pertanian Bogor). Elang
sendiri masuk IPB tanpa melalui tes SPMB
(Sistem Penerimaan Mahasiswa
Baru, red) sebagaimana calon mahasiswa yang
akan masuk ke Perguruan Tinggi
Negeri. Ini dikarenakan Elang pernah
menjuarai kompetisi ekonomi yang
diadakan oleh IPB sehingga bisa masuk tanpa
tes. Saat awal-awal masuk kuliah,
Elang mendapat musibah yang menyebabkan
uang Rp 10 jutanya tinggal Rp 1
juta. Namun Elang enggan memberitahu apa
musibah yang dialaminya tersebut.
Padahal uang itu rencananya akan
digunakan sebagai modal usaha. Meski hanya
bermodal Rp 1 juta, Elang tidak
patah semangat untuk memulai usaha. Uang Rp
1 juta itu ia belanjakan sepatu
lalu ia jual di Asrama Mahasiswa IPB. Lewat
usaha ini, dalam satu bulan Elang
bisa mengantongi uang Rp 3 jutaan. Tapi
setelah berjalan beberapa tahun,
orang yang menyuplai sepatunya entah kenapa
mulai menguranginya dengan cara
menurunkan kualitas sepatunya. Satu per satu
pelanggannya pun tidak mau lagi
membeli sepatu Elang. Sejak itu, Elang
memutuskan untuk tidak lagi
berjualan sepatu.
Setelah tidak lagi berbisnis
sepatu, Elang kebingungan mencari bisnis
apalagi. Pada awalnya, dengan
sisa modal uang bisnis sepatu, rencanaya ia
akan gunakan untuk bisnis ayam
potong. Tapi, ketika akan terjun ke bisnis
ayam potong, Elang justru melihat
peluang bisnis pengadaan lampu di
kampusnya. “Peluang bisnis lampu
ini berawal ketika saya melihat banyak
lampu di IPB yang redup. Saya
fikir ini adalah peluang bisnis yang
menggiurkan,
” paparnya. Karena tidak punya
modal banyak, Elang menggunakan
strategi Ario Winarsis, yaitu
bisnis tanpa menggunakan modal. Ario Winarsis
sendiri awalnya adalah seorang
pemuda miskin dari Amerika Latin, Ario
Winarsis mengetahui ada seorang
pengusaha tembakau yang kaya raya di
Amerika. Setiap hari, ketika
pengusaha itu keluar rumah, Ario Winarsis
selalu melambaikan tangan ke
pengusaha itu. Pada awalnya pengusaha itu tidak
memperdulikannya. Tapi karena
Ario selalu melambaikan tangan setiap hari,
pengusaha tembakau itu menemuinya
dan mengatakan, “Hai pemuda, kenapa kamu
selalu melambaikan tangan setiap
saya ke luar rumah?” Pemuda miskin itu lalu
menjawab, “Saya punya tembakau
kualitas bagus. Bapak tidak usah membayar
dulu, yang penting saya dapat PO
dulu dari Bapak.” Setelah mendengar jawaban
dari pemuda itu, pengusaha kaya
itu lalu membuatkan tanda tangan dan stempel
kepada pemuda tersebut. Dengan
modal stempel dan tanda tangan dari pengusaha
Amerika itu, pemuda tersebut
pulang dan mengumpulkan hasil tembakau di
kampungnya untuk di jual ke
Amerika lewat si pengusaha kaya raya itu. Maka,
jadilah pemuda itu orang kaya
raya tanpa modal.
Begitupula Elang, dengan modal
surat dari kampus, ia melobi ke perusahaan
lampu Philips pusat untuk
menyetok lampu di kampusnya. “Alhamdulillah
proposal saya gol, dan setiap
penjualan saya mendapat keuntungan Rp 15
juta,” ucapnya bangga.
Tapi, karena bisnis lampu ini
musiman dan perputaran uangnya lambat, Elang
mulai berfikir untuk mencari
bisnis yang lain. Setelah melihat celah di
bisnis minyak goreng, Elang mulai
menekuni jualan minyak goreng ke
warung-warung. Setiap pagi
sebelum berangkat kuliah, ia harus membersihkan
puluhan jerigen, kemudian diisi
minyak goreng curah, dan dikirim ke
warung-warung Pasar Anyar, serta
Cimanggu, Bogor. Setelah selesai mengirim
minyak goreng, ia kembali ke
kampus untuk kuliah. Sepulang kuliah, Elang
kembali mengambil jerigen-jerigen
di warung untuk diisi kembali keesokan
harinya. Tapi, karena bisnis
minyak ini 80 persen menggunakan otot, sehingga
mengganggu kuliahnya. Elang pun
memutuskan untuk berhenti berjualan. “Saya
sering ketiduran di kelas karena
kecapain,” kisahnya.
Elang mengaku selama ini ia
berbisnis lebih banyak menggunakan otot dari
pada otak. Elang berkonsultasi ke
beberapa para pengusaha dan dosennya untuk
minta wejangan. Dari hasil
konsultasi, Elang mendapat pencerahan bahwa
berbisnis tidak harus selalu
memakai otot, dan banyak peluang-peluang bisnis
yang tidak menggunakan otot.
Setelah mendapat berbagai
masukan, Elang mulai merintis bisnis Lembaga
Bahasa Inggris di kampusnya.
“Bisnis bahasa Inggris ini sangat prospektif
apalagi di kampus, karena ke
depan dunia semakin global dan mau tidak mau
kita dituntut untuk bisa bahasa
Inggris,” jelasnya. Adapun modalnya, ia
patungan bersama kawan-kawannya.
Sebenarnya ia bisa membiayai usaha itu
sendiri, tapi karena pegalaman
saat jualan minyak, ia memutuskan untuk
mengajak teman-temannya. Karena
lembaga kursusnyanya ditangani secara
profesional dengan tenaga
pengajar dari lulusan luar negeri, pihak Fakultas
Ekonomi mempercayakan lembaganya
itu menjadi mitra.
Karena dalam bisnis lembaga
bahasa Inggris Elang tidak terlibat langsung dan
hanya mengawasi saja, ia
manfaatkan waktu luangnya untuk bekerja sebagai
marketing perumahan. “Saya di
marketing tidak mendapat gaji bulanan, saya
hanya mendapatkan komisi setiap
mendapat konsumen,” ujarnya.
Bangun Rumah Orang Miskin. Di
usianya yang relatif muda, pemuda yang tak
suka merokok ini sudah menuai
berbagai keberhasilan. Dari hasil usahanya itu
Elang sudah mempunyai rumah dan
mobil sendiri. Namun di balik
keberhasilannya itu, Elang merasa
ada sesuatu yang kurang. Sejak saat itu ia
mulai merenungi kondisinya.
“Kenapa kondisi saya begini, padahal saya di IPB
hanya tinggal satu setengah tahun
lagi. Semuanya saya sudah punya, apalagi
yang saya cari di dunia ini?”
batinnya.
Setelah lama merenungi
ketidaktenangannya itu, akhirnya Elang mendapatkan
jawaban. Ternyata selama ini ia
kurang bersyukur kepada Tuhan. Sejak saat
itulah Elang mulai mensyukuri
segala kenikmatan dan kemudahan yang diberikan
oleh Tuhan. Karena bingung mau
bisnis apalagi, akhirnya Elang shalat
istikharah minta ditunjukkan
jalan. “Setelah shalat istikharah, dalam tidur
saya bermimpi melihat sebuah
bangunan yang sangat megah dan indah di
Manhattan City, lalu saya
bertanya kepada orang, siapa sih yang membuat
bangunan megah ini? Lalu orang
itu menjawab, “Bukannya kamu yang membuat?”
Setelah itu Elang terbangun dan
merenungi maksud mimpi tersebut. “Saya pun
kemudian memberanikan diri untuk
masuk ke dunia properti,” ujarnya.
Pengalaman bekerja di marketing
perumahan membuatnya mempunyai pengetahuan
di dunia properti. Sejak mimpi
itu ia mulai mencoba-coba ikut berbagai
tender. Tender pertama yang ia
menangi Rp 162 juta di Jakarta yaitu
membangun sebuah Sekolah Dasar di
daerah Jakarta Barat. Sukses menangani
sekolah membuat Elang percaya
diri untuk mengikuti tender-tender yang lebih
besar. Sudah berbagai proyek
perumahan ia bangun.
Selama ini bisnis properti
kebanyakan ditujukan hanya untuk orang-orang kaya
atau berduit saja. Sedangkan
perumahan yang sederhana dan murah yang
terjangkau untuk orang miskin
jarang sekali pengembang yang peduli. Padahal
di Indonesia ada 70 juta rakyat
yang masih belum memiliki rumah. Apalagi
rumah juga merupakan kebutuhan
yang sangat primer. Sebagai tempat berteduh
dan membangun keluarga. “Banyak
orang di Indonesia terutama yang tinggal di
kota belum punya rumah, padahal
mereka sudah berumur 60 tahun, biasanya
kendala mereka karena DP yang
kemahalan, cicilan kemahalan, jadi sampai
sekarang mereka belum berani
untuk memiliki rumah,” jelasnya.
Dalam hidupnya, Elang ingin
memiliki keseimbangan dalam hidup. Bagi Elang,
kalau mau kenal orang maka
kenalilah 10 orang terkaya di Indonesia dan juga
kenal 10 orang termiskin di
Indonesia. Dengan kenal 10 orang termiskin dan
terkaya, akan mempunyai
keseimbangan dalam hidup, dan pasti akan melakukan
sesuatu untuk mereka. Melihat
realitas sosial seperti itu, Elang terdorong
untuk mendirikan perumahan khusus
untuk orang-orang ekonomi ke bawah. Maka
ketika ada peluang mengakuisisi
satu tanah di desa Cinangka kecamatan
Ciampea, Elang langsung mengambil
peluang itu. Tapi, karena Elang tidak
punya banyak modal, ia mengajak
teman-temannya yang berjumlah 5 orang untuk
patungan. Dengan modal patungan
Rp 340 juta, pada tahun 2007 Elang mulai
membangun rumah sehat sederhana
(RSS) yang difokuskan untuk si miskin
berpenghasilan rendah. Dari
penjualan rumah yang sedikit demi sedikit itu.
Modalnya Elang putar kembali
untuk membebaskan lahan di sekitarnya. Rumah
bercat kuning pun satu demi satu
mulai berdiri.
Elang membangun rumah dengan
berbagai tipe, ada tipe 22/60 dan juga tipe
36/72. Rumah-rumah yang berdiri
di atas lahan 60 meter persegi tersebut
ditawarkan hanya seharga Rp 25
juta dan Rp 37 juta per unitnya. “Jadi, hanya
dengan DP Rp 1,25 juta dan
cicilan Rp 90.000 ribu per bulan selama 15 tahun,
mereka sudah bisa memiliki
rumah,” ungkapnya.
Karena modalnya pas-pasan, untuk
media promosinya sendiri, Elang hanya
mengiklankan di koran lokal.
Karena harganya yang relatif murah, pada tahap
awal pembangunan langsung terjual
habis. Meski harganya murah, tapi
fasilitas pendukung di dalamnya
sangat komplit, seperti Klinik 24 jam,
angkot 24 jam, rumah ibadah,
sekolah, lapangan olah raga, dan juga dekat
dengan pasar. Karena rumah itu
diperuntukkan bagi kalangan ekonomi bawah,
kebanyakan para profesi
konsumennya adalah buruh pabrik, staf tata usaha
(TU) IPB, bahkan ada juga para
pemulung.
Sisihkan 10 Persen. Dengan
berbagai kesuksesan di usia muda itu, Elang tidak
lupa diri dengan hidup
bermewah-mewahan, justru Elang semakin mendekatkan
diri kepada Tuhan. Salah satu
wujud rasa syukur atas nikmatnya itu, dalam
setiap proyeknya, ia selalu
menyisihkan 10 persen untuk kegiatan amal. “Uang
yang 10 persen itu saya masukkan
ke BMT (Baitul Mal Wa Tanwil/tabungan)
pribadi, dan saya alokasikan
untuk membantu orang-orang miskin dan orang
yang kurang modal,” bebernya.
Bagi Elang, materi yang saat ini ia miliki ada
hak orang miskin di dalamnya yang
musti dibagi. Selain menyisihkan 10 persen
dari hasil proyeknya, Elang juga
memberikan sedekah mingguan, bulanan, dan
bahkan tahunan kepada fakir
miskin.
Bagi Elang, sedekah itu tidak
perlu banyak tapi yang paling penting adalah
kontinuitas dari sedekah
tersebut. Meski jumlahnya kecil, tapi jika
dilakukan secara rutin, itu lebih
baik daripada banyak tapi tidak rutin.
Elang sendiri terbilang sebagai
salah satu sosok pengusaha muda yang sukses
dalam merintis bisnis di tanah
air. Prestasinya patut diapresiasi dan
dijadikan suri tauladan bagi
anak-anak muda yang lain. Bagi Elang, semua
anak muda Indonesia bisa menjadi
orang yang sukses, karena kelebihan manusia
dengan ciptaan mahkluk Tuhan yang
lain adalah karena manusia diberi akal.
Dan, ketika manusia lahir ke
dunia dan sudah bisa mulai berfikir, manusia
itu seharusnya sudah bisa
mengarahkan hidupnya mau dibawa kemana. “Kita
hidup ibarat diberi diary kosong.
Lalu, tergantung kitanya mau mengisi
catatan hidup ini. Mau
hura-hurakah? Atau mau mengisi hidup ini dengan
sesuatu yang bermanfaat bagi yang
lain,” ucapnya berfilosof. Ketika
seseorang sudah bisa menetapkan
arah hidupnya mau dibawa kemana, tinggal
orang itu mencari kunci-kunci
kesuksesannya, seperti ilmu dan lain
sebagainya.
Menjaga Masjid. Adapun kunci
kesuksesan Elang sendiri berawal dari perubahan
gaya hidupnya saat kuliah
semester lima. Pada siang hari, Elang bak singa
padang pasir. Selain kuliah, ia
juga menjalankan bisnis mencari
peluang-peluang bisnis baru,
negosiasi, melobi, dan sebagainya. Namun ketika
malam tiba, ia harus menjadi
pelayan Tuhan, dengan menjadi penjaga Masjid.
“Setiap malam dari semester lima
sampai sekarang saya tinggal di Masjid yang
berada dekat terminal Bogor. Dari
mulai membersihkan Masjid, sampai
mengunci, dan membukakan pintu
pagar untuk orang-orang yang akan shalat
Shubuh, semua saya lakukan,”
ujarnya merendah.
Elang mengaku ketika menjadi
penjaga Masjid ia mendapat kekuatan pemikiran
yang luar biasa. Bagi Elang,
Masjid selain sebagai sarana ibadah, juga
tempat yang sangat mustajab untuk
merenung dan memasang strategi. “Dalam
halaman masjid itu juga ada pohon
pisang dan di sampingnya gundukan tanah.
Saya anggap itu adalah kuburan
saya. Ketika saya punya masalah saya merenung
kembali dan kata Nabi, orang yang
paling cerdas adalah orang yang mengingat
mati,” ujarnya.
Ikut Lomba Wirausaha Muda Mandiri
Karena Tukang Koran “Ghaib”
Elang semakin dikenal khalayak
luas ketika berhasil menjadi juara pertama di
ajang lomba wirausaha muda
mandiri yang diadakan oleh sebuah bank belum lama
ini. Keikutsertaan Elang dalam
lomba tersebut sebenarnya berkat informasi
dari koran yang ia dapatkan lewat
tukang koran “ghaib”. Kenapa “ghaib”?,
sebab setelah memberi koran,
tukang koran itu tidak pernah kembali lagi
padahal sebelumnya ia berjanji
untuk kembali lagi.
Peristiwa aneh itu terjadi saat
ia sedang mencuci mobil di depan rumahnya.
Tiba-tiba saja ada tukang koran
yang menawarkan koran. Karena sudah
langganan koran, Elang pun
menolak tawaran tukang koran itu dengan
mengatakan kalau ia sudah
berlangganan koran. Tapi anehnya musti sudah
mengatakan demikian, si tukang
koran itu tetap memaksa untuk membelinya,
karena elang tidak mau akhirnya
si tukang koran itu memberikan dengan
cuma-cuma kepada elang dan
berjanji akan kembali lagi keesokan harinya.
Karena diberi secara cuma-cuma,
akhirnya Elang pun mau menerimanya.
Setelah selesai mencuci mobil,
Elang langsung menyambar koran pemberian
tukang koran tadi. Setelah
membaca beberapa lembar, Elang menemukan satu
pengumuman lomba wirausaha muda
mandiri. Merasa sebagai anak muda, ia
tertantang untuk mengikuti lomba
tersebut. Elang pun membawa misi bahwa
wirausaha bukan teori melainkan
ilmu aplikatif. Saat lolos penjaringan dan
dikumpulkan di Hotel Nikko
Jakarta, Elang bertemu dengan seorang Bapak yang
anaknya sedang sakit keras di pinggir
jalan bundaran Hotel Indonesia. Elang
merasa ada dua dunia yang sangat
kontras, di satu sisi ada orang tinggal di
hotel mewah dan makan di
restoran, tapi di sisi lain ada orang yang tinggal
di jalanan. Akhirnya, pada malam
penganugerahan, tim juri memutuskan
Elanglah yang menjadi juaranya.
Padahal kalau diukur secara omset,
pendapatannya berbeda jauh dengan
para pengusaha lainnya.
Dari Juara I Wirausaha itu, Elang
membawa hadiah sebesar Rp 20 juta,
ditambah tawaran kuliah S2 di
Universitas Indonesia. Melalui lomba itu,
terbukalah jalan cerah bagi Elang
untuk menapaki dunia wirausaha yang lebih
luas.
Ingin Membawahi Perusahaan yang
Mempekerjakan 100 Ribu Orang
Perjalanan Elang dalam merintis
bisnis properti, tidak selamanya berjalan
mulus. Pada awal-awal merintis
bisnis ini, ia banyak sekali mengalami
hambatan, terutama ketika akan
meminjam modal dari Bank. Sebagai mahasiswa
biasa, tentunya perbankan merasa
enggan untuk memberikan modal. Padahal,
prospek bisnis properti sangat
jelas karena setiap orang pasti membutuhkan
rumah. “Beginilah jadi nasib
orang muda, susah orang percaya. Apalagi
perbankan. Orang bank bilang
lebih baik memberikan ke tukang gorengan
daripada ke mahasiswa,”
ungkapnya.
Meski sering ditolak bank pada
awal-awal usahanya, Elang tidak pernah patah
semangat untuk berbisnis.
Baginya, kalau bank tidak mau memberi pinjaman,
masih banyak orang yang percaya
dengan anak muda yang mau memberi pinjaman.
Terbukti dengan hasil jerih
payahnya selama ini sehingga bisa berjalan.
Ada banyak impian yang ingin
diraih Elang, di antaranya membentuk organisasi
Maestro Muda Indonesia dan
membawahi perusahaan yang mempekerjakan karyawan
100 ribu orang. Motivasi terbesar
Elang dalam meraih impian tersebut adalah
ingin menjadi tauladan bagi
generasi muda, membantu masyarakat sekitar, dan
meraih kemuliaan dunia serta
akhirat.
*
Selama ini banyak developer yang
membangun perumahan namun hanya bisa
dijangkau oleh kalangan menengah
ke atas saja. Jarang sekali developer yang
membangun perumahan yang memang
dikhususkan bagi orang-orang kecil. Elang
Gumilang (22), seorang mahasiswa
yang memiliki jiwa wirausaha tinggi
ternyata memiliki kepedulian
tinggi terhadap kaum kecil yang tidak memiliki
rumah. Meski bermodal pas-pasan,
ia berani membangun perumahan khusus untuk
orang miskin. Apa yang
mendasarinya?
Jumat sore (28/12), suasana
Institut Pertanian bogor (IPB), terlihat
lengang. Tidak ada geliat
aktivitas proses belajar mengajar. Maklum hari
itu, hari tenang mahasiswa untuk
ujian akhir semester (UAS). Saat Realita
melangkahkah kaki ke gedung
Rektorat, terlihat sosok pemuda berperawakan
kecil dari kejauhan langsung
menyambut kedatangan Realita. Dialah Elang
Gumilang (22), seorang wirausaha
muda yang peduli dengan kaum miskin. Sambil
duduk di samping gedung Rektorat,
pemuda yang kerap disapa Elang ini,
langsung mengajak Realita ke
perumahannya yang tak jauh dari kampus IPB.
Untuk sampai ke perumahan
tersebut hanya membutuhkan waktu 15 menit dengan
menggunakan kendaraan roda empat.
Kami berhenti saat melewati deretan rumah
bercat kuning tipe 22/60. Rupanya
bangunan yang berdiri di atas lahan 60
meter persegi itu adalah perumahan
yang didirikannya yang diperuntukan
khusus bagi orang-orang miskin.
Setelah puas mengitari perumahan, Elang
mengajak Realita untuk
melanjutkan obrolan di kantornya.
Elang sendiri merupakan anak
pertama dari tiga bersaudara pasangan H. Enceh
(55) dan Hj. Prianti (45). Elang
terlahir dari keluarga yang lumayan berada,
yaitu ayahnya berprofesi sebagai
kontraktor, sedangkan ibunya hanya ibu
rumah tangga biasa. Sejak kecil
orang tuanya sudah mengajarkan bahwa segala
sesuatu diperoleh tidak dengan
gratis. Orang tuanya juga meyakinkan bahwa
rezeki itu bukan berasal dari
mereka tapi dari Allah SWT..
Ketika duduk di bangku Sekolah
Dasar Pengadilan 4, Bogor, Elang sudah
mengikuti berbagai perlombaan dan
bahkan ia pernah mengalahkan anak SMP saat
lomba cerdas cermat. Karena
kepintarannya itu, Elang pun menjadi anak
kesayangan guru-gurunya.
Begitu pula ketika masuk SMP I
Bogor, SMP terfavorit di kabupaten Bogor,
Elang selalu mendapatkan
rangking. Pria kelahiran Bogor, 6 April 1985 ini
mengaku kesuksesan yang ia raih
saat ini bukanlah sesuatu yang instan.
“Butuh proses dan kesabaran untuk
mendapatkan semua ini, tidak ada sesuatu
yang bisa dicapai secara instan,”
tegasnya. Jiwa wirausaha Elang sendiri
mulai terasah saat ia duduk di
bangku kelas 3 SMA I Bogor, Jawa Barat. Dalam
hati, Elang bertekad setelah
lulus SMA nanti ia harus bisa membiayai
kuliahnya sendiri tanpa
menggantungkan biaya kuliah dari orang tuanya. Ia
pun mempunyai target setelah
lulus SMA harus mendapatkan uang Rp 10 juta
untuk modal kuliahnya kelak.
Berjualan Donat. Akhirnya, tanpa
sepengetahuan orang tuanya, Elang mulai
berbisnis kecil-kecilan dengan
cara berjualan donat keliling. Setiap hari ia
mengambil 10 boks donat
masing-masing berisi 12 buah dari pabrik donat untuk
kemudian dijajakan ke Sekolah
Dasar di Bogor. Ternyata lumayan juga. Dari
hasil jualannya ini, setiap hari
Elang bisa meraup keuntungan Rp 50 ribu.
Setelah berjalan beberapa bulan,
rupanya kegiatan sembunyi-sembunyiny a ini
tercium juga oleh orang tuanya.
“Karena sudah dekat UAN (Ujian Akhir
Nasional), orang tua menyuruh
saya untuk berhenti berjualan donat. Mereka
khawatir kalau kegiatan saya ini
mengganggu ujian akhir,” jelas pria
pemenang lomba bahasa sunda tahun
2000 se-kabupaten Bogor ini.
Dilarang berjualan donat, Elang
justru tertantang untuk mencari uang dengan
cara lain yang tidak mengganggu
sekolahnya. Pada tahun 2003 ketika Fakultas
Ekonomi dan Manajemen IPB
mengadakan lomba Java Economic Competion se-Jawa,
Elang mengikutinya dan berhasil
menjuarainya. Begitu pula saat Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia
(UI) menyelenggarakan kompetisi Ekonomi, Elang
juga berhasil menjadi juara
ke-tiga. Hadiah uang yang diperoleh dari setiap
perlombaan, ia kumpulkan untuk
kemudian digunakan sebagai modal kuliah.
Setelah lulus SMU, Elang melanjutkan
kuliah di Fakultas Ekonomi IPB
(Institut Pertanian Bogor). Elang
sendiri masuk IPB tanpa melalui tes SPMB
(Sistem Penerimaan Mahasiswa
Baru, red) sebagaimana calon mahasiswa yang
akan masuk ke Perguruan Tinggi
Negeri. Ini dikarenakan Elang pernah
menjuarai kompetisi ekonomi yang
diadakan oleh IPB sehingga bisa masuk tanpa
tes. Saat awal-awal masuk kuliah,
Elang mendapat musibah yang menyebabkan
uang Rp 10 jutanya tinggal Rp 1
juta. Namun Elang enggan memberitahu apa
musibah yang dialaminya tersebut.
Padahal uang itu rencananya akan
digunakan sebagai modal usaha. Meski hanya
bermodal Rp 1 juta, Elang tidak
patah semangat untuk memulai usaha. Uang Rp
1 juta itu ia belanjakan sepatu
lalu ia jual di Asrama Mahasiswa IPB. Lewat
usaha ini, dalam satu bulan Elang
bisa mengantongi uang Rp 3 jutaan. Tapi
setelah berjalan beberapa tahun,
orang yang menyuplai sepatunya entah kenapa
mulai menguranginya dengan cara
menurunkan kualitas sepatunya. Satu per satu
pelanggannya pun tidak mau lagi
membeli sepatu Elang. Sejak itu, Elang
memutuskan untuk tidak lagi
berjualan sepatu.
Setelah tidak lagi berbisnis
sepatu, Elang kebingungan mencari bisnis
apalagi. Pada awalnya, dengan
sisa modal uang bisnis sepatu, rencanaya ia
akan gunakan untuk bisnis ayam
potong. Tapi, ketika akan terjun ke bisnis
ayam potong, Elang justru melihat
peluang bisnis pengadaan lampu di
kampusnya. “Peluang bisnis lampu
ini berawal ketika saya melihat banyak
lampu di IPB yang redup. Saya
fikir ini adalah peluang bisnis yang
menggiurkan,
” paparnya. Karena tidak punya
modal banyak, Elang menggunakan
strategi Ario Winarsis, yaitu
bisnis tanpa menggunakan modal. Ario Winarsis
sendiri awalnya adalah seorang
pemuda miskin dari Amerika Latin, Ario
Winarsis mengetahui ada seorang
pengusaha tembakau yang kaya raya di
Amerika. Setiap hari, ketika
pengusaha itu keluar rumah, Ario Winarsis
selalu melambaikan tangan ke
pengusaha itu. Pada awalnya pengusaha itu tidak
memperdulikannya. Tapi karena
Ario selalu melambaikan tangan setiap hari,
pengusaha tembakau itu menemuinya
dan mengatakan, “Hai pemuda, kenapa kamu
selalu melambaikan tangan setiap
saya ke luar rumah?” Pemuda miskin itu lalu
menjawab, “Saya punya tembakau
kualitas bagus. Bapak tidak usah membayar
dulu, yang penting saya dapat PO
dulu dari Bapak.” Setelah mendengar jawaban
dari pemuda itu, pengusaha kaya
itu lalu membuatkan tanda tangan dan stempel
kepada pemuda tersebut. Dengan
modal stempel dan tanda tangan dari pengusaha
Amerika itu, pemuda tersebut
pulang dan mengumpulkan hasil tembakau di
kampungnya untuk di jual ke
Amerika lewat si pengusaha kaya raya itu. Maka,
jadilah pemuda itu orang kaya
raya tanpa modal.
Begitupula Elang, dengan modal
surat dari kampus, ia melobi ke perusahaan
lampu Philips pusat untuk
menyetok lampu di kampusnya. “Alhamdulillah
proposal saya gol, dan setiap
penjualan saya mendapat keuntungan Rp 15
juta,” ucapnya bangga.
Tapi, karena bisnis lampu ini
musiman dan perputaran uangnya lambat, Elang
mulai berfikir untuk mencari
bisnis yang lain. Setelah melihat celah di
bisnis minyak goreng, Elang mulai
menekuni jualan minyak goreng ke
warung-warung. Setiap pagi
sebelum berangkat kuliah, ia harus membersihkan
puluhan jerigen, kemudian diisi
minyak goreng curah, dan dikirim ke
warung-warung Pasar Anyar, serta
Cimanggu, Bogor. Setelah selesai mengirim
minyak goreng, ia kembali ke
kampus untuk kuliah. Sepulang kuliah, Elang
kembali mengambil jerigen-jerigen
di warung untuk diisi kembali keesokan
harinya. Tapi, karena bisnis
minyak ini 80 persen menggunakan otot, sehingga
mengganggu kuliahnya. Elang pun
memutuskan untuk berhenti berjualan. “Saya
sering ketiduran di kelas karena
kecapain,” kisahnya.
Elang mengaku selama ini ia
berbisnis lebih banyak menggunakan otot dari
pada otak. Elang berkonsultasi ke
beberapa para pengusaha dan dosennya untuk
minta wejangan. Dari hasil
konsultasi, Elang mendapat pencerahan bahwa
berbisnis tidak harus selalu
memakai otot, dan banyak peluang-peluang bisnis
yang tidak menggunakan otot.
Setelah mendapat berbagai
masukan, Elang mulai merintis bisnis Lembaga
Bahasa Inggris di kampusnya.
“Bisnis bahasa Inggris ini sangat prospektif
apalagi di kampus, karena ke
depan dunia semakin global dan mau tidak mau
kita dituntut untuk bisa bahasa
Inggris,” jelasnya. Adapun modalnya, ia
patungan bersama kawan-kawannya.
Sebenarnya ia bisa membiayai usaha itu
sendiri, tapi karena pegalaman
saat jualan minyak, ia memutuskan untuk
mengajak teman-temannya. Karena
lembaga kursusnyanya ditangani secara
profesional dengan tenaga
pengajar dari lulusan luar negeri, pihak Fakultas
Ekonomi mempercayakan lembaganya
itu menjadi mitra.
Karena dalam bisnis lembaga
bahasa Inggris Elang tidak terlibat langsung dan
hanya mengawasi saja, ia
manfaatkan waktu luangnya untuk bekerja sebagai
marketing perumahan. “Saya di
marketing tidak mendapat gaji bulanan, saya
hanya mendapatkan komisi setiap
mendapat konsumen,” ujarnya.
Bangun Rumah Orang Miskin. Di
usianya yang relatif muda, pemuda yang tak
suka merokok ini sudah menuai
berbagai keberhasilan. Dari hasil usahanya itu
Elang sudah mempunyai rumah dan
mobil sendiri. Namun di balik
keberhasilannya itu, Elang merasa
ada sesuatu yang kurang. Sejak saat itu ia
mulai merenungi kondisinya.
“Kenapa kondisi saya begini, padahal saya di IPB
hanya tinggal satu setengah tahun
lagi. Semuanya saya sudah punya, apalagi
yang saya cari di dunia ini?”
batinnya.
Setelah lama merenungi
ketidaktenangannya itu, akhirnya Elang mendapatkan
jawaban. Ternyata selama ini ia
kurang bersyukur kepada Tuhan. Sejak saat
itulah Elang mulai mensyukuri
segala kenikmatan dan kemudahan yang diberikan
oleh Tuhan. Karena bingung mau
bisnis apalagi, akhirnya Elang shalat
istikharah minta ditunjukkan
jalan. “Setelah shalat istikharah, dalam tidur
saya bermimpi melihat sebuah
bangunan yang sangat megah dan indah di
Manhattan City, lalu saya
bertanya kepada orang, siapa sih yang membuat
bangunan megah ini? Lalu orang
itu menjawab, “Bukannya kamu yang membuat?”
Setelah itu Elang terbangun dan
merenungi maksud mimpi tersebut. “Saya pun
kemudian memberanikan diri untuk
masuk ke dunia properti,” ujarnya.
Pengalaman bekerja di marketing
perumahan membuatnya mempunyai pengetahuan
di dunia properti. Sejak mimpi
itu ia mulai mencoba-coba ikut berbagai
tender. Tender pertama yang ia
menangi Rp 162 juta di Jakarta yaitu
membangun sebuah Sekolah Dasar di
daerah Jakarta Barat. Sukses menangani
sekolah membuat Elang percaya
diri untuk mengikuti tender-tender yang lebih
besar. Sudah berbagai proyek
perumahan ia bangun.
Selama ini bisnis properti
kebanyakan ditujukan hanya untuk orang-orang kaya
atau berduit saja. Sedangkan
perumahan yang sederhana dan murah yang
terjangkau untuk orang miskin
jarang sekali pengembang yang peduli. Padahal
di Indonesia ada 70 juta rakyat
yang masih belum memiliki rumah. Apalagi
rumah juga merupakan kebutuhan
yang sangat primer. Sebagai tempat berteduh
dan membangun keluarga. “Banyak
orang di Indonesia terutama yang tinggal di
kota belum punya rumah, padahal
mereka sudah berumur 60 tahun, biasanya
kendala mereka karena DP yang
kemahalan, cicilan kemahalan, jadi sampai
sekarang mereka belum berani
untuk memiliki rumah,” jelasnya.
Dalam hidupnya, Elang ingin
memiliki keseimbangan dalam hidup. Bagi Elang,
kalau mau kenal orang maka
kenalilah 10 orang terkaya di Indonesia dan juga
kenal 10 orang termiskin di
Indonesia. Dengan kenal 10 orang termiskin dan
terkaya, akan mempunyai
keseimbangan dalam hidup, dan pasti akan melakukan
sesuatu untuk mereka. Melihat
realitas sosial seperti itu, Elang terdorong
untuk mendirikan perumahan khusus
untuk orang-orang ekonomi ke bawah. Maka
ketika ada peluang mengakuisisi
satu tanah di desa Cinangka kecamatan
Ciampea, Elang langsung mengambil
peluang itu. Tapi, karena Elang tidak
punya banyak modal, ia mengajak
teman-temannya yang berjumlah 5 orang untuk
patungan. Dengan modal patungan
Rp 340 juta, pada tahun 2007 Elang mulai
membangun rumah sehat sederhana
(RSS) yang difokuskan untuk si miskin
berpenghasilan rendah. Dari
penjualan rumah yang sedikit demi sedikit itu.
Modalnya Elang putar kembali
untuk membebaskan lahan di sekitarnya. Rumah
bercat kuning pun satu demi satu
mulai berdiri.
Elang membangun rumah dengan
berbagai tipe, ada tipe 22/60 dan juga tipe
36/72. Rumah-rumah yang berdiri
di atas lahan 60 meter persegi tersebut
ditawarkan hanya seharga Rp 25
juta dan Rp 37 juta per unitnya. “Jadi, hanya
dengan DP Rp 1,25 juta dan
cicilan Rp 90.000 ribu per bulan selama 15 tahun,
mereka sudah bisa memiliki
rumah,” ungkapnya.
Karena modalnya pas-pasan, untuk
media promosinya sendiri, Elang hanya
mengiklankan di koran lokal.
Karena harganya yang relatif murah, pada tahap
awal pembangunan langsung terjual
habis. Meski harganya murah, tapi
fasilitas pendukung di dalamnya
sangat komplit, seperti Klinik 24 jam,
angkot 24 jam, rumah ibadah,
sekolah, lapangan olah raga, dan juga dekat
dengan pasar. Karena rumah itu
diperuntukkan bagi kalangan ekonomi bawah,
kebanyakan para profesi
konsumennya adalah buruh pabrik, staf tata usaha
(TU) IPB, bahkan ada juga para
pemulung.
Sisihkan 10 Persen. Dengan
berbagai kesuksesan di usia muda itu, Elang tidak
lupa diri dengan hidup
bermewah-mewahan, justru Elang semakin mendekatkan
diri kepada Tuhan. Salah satu
wujud rasa syukur atas nikmatnya itu, dalam
setiap proyeknya, ia selalu
menyisihkan 10 persen untuk kegiatan amal. “Uang
yang 10 persen itu saya masukkan
ke BMT (Baitul Mal Wa Tanwil/tabungan)
pribadi, dan saya alokasikan
untuk membantu orang-orang miskin dan orang
yang kurang modal,” bebernya.
Bagi Elang, materi yang saat ini ia miliki ada
hak orang miskin di dalamnya yang
musti dibagi. Selain menyisihkan 10 persen
dari hasil proyeknya, Elang juga
memberikan sedekah mingguan, bulanan, dan
bahkan tahunan kepada fakir
miskin.
Bagi Elang, sedekah itu tidak
perlu banyak tapi yang paling penting adalah
kontinuitas dari sedekah
tersebut. Meski jumlahnya kecil, tapi jika
dilakukan secara rutin, itu lebih
baik daripada banyak tapi tidak rutin.
Elang sendiri terbilang sebagai
salah satu sosok pengusaha muda yang sukses
dalam merintis bisnis di tanah
air. Prestasinya patut diapresiasi dan
dijadikan suri tauladan bagi
anak-anak muda yang lain. Bagi Elang, semua
anak muda Indonesia bisa menjadi
orang yang sukses, karena kelebihan manusia
dengan ciptaan mahkluk Tuhan yang
lain adalah karena manusia diberi akal.
Dan, ketika manusia lahir ke
dunia dan sudah bisa mulai berfikir, manusia
itu seharusnya sudah bisa
mengarahkan hidupnya mau dibawa kemana. “Kita
hidup ibarat diberi diary kosong.
Lalu, tergantung kitanya mau mengisi
catatan hidup ini. Mau
hura-hurakah? Atau mau mengisi hidup ini dengan
sesuatu yang bermanfaat bagi yang
lain,” ucapnya berfilosof. Ketika
seseorang sudah bisa menetapkan
arah hidupnya mau dibawa kemana, tinggal
orang itu mencari kunci-kunci
kesuksesannya, seperti ilmu dan lain
sebagainya.
Menjaga Masjid. Adapun kunci
kesuksesan Elang sendiri berawal dari perubahan
gaya hidupnya saat kuliah
semester lima. Pada siang hari, Elang bak singa
padang pasir. Selain kuliah, ia
juga menjalankan bisnis mencari
peluang-peluang bisnis baru,
negosiasi, melobi, dan sebagainya. Namun ketika
malam tiba, ia harus menjadi
pelayan Tuhan, dengan menjadi penjaga Masjid.
“Setiap malam dari semester lima
sampai sekarang saya tinggal di Masjid yang
berada dekat terminal Bogor. Dari
mulai membersihkan Masjid, sampai
mengunci, dan membukakan pintu
pagar untuk orang-orang yang akan shalat
Shubuh, semua saya lakukan,”
ujarnya merendah.
Elang mengaku ketika menjadi
penjaga Masjid ia mendapat kekuatan pemikiran
yang luar biasa. Bagi Elang,
Masjid selain sebagai sarana ibadah, juga
tempat yang sangat mustajab untuk
merenung dan memasang strategi. “Dalam
halaman masjid itu juga ada pohon
pisang dan di sampingnya gundukan tanah.
Saya anggap itu adalah kuburan
saya. Ketika saya punya masalah saya merenung
kembali dan kata Nabi, orang yang
paling cerdas adalah orang yang mengingat
mati,” ujarnya.
Ikut Lomba Wirausaha Muda Mandiri
Karena Tukang Koran “Ghaib”
Elang semakin dikenal khalayak
luas ketika berhasil menjadi juara pertama di
ajang lomba wirausaha muda
mandiri yang diadakan oleh sebuah bank belum lama
ini. Keikutsertaan Elang dalam
lomba tersebut sebenarnya berkat informasi
dari koran yang ia dapatkan lewat
tukang koran “ghaib”. Kenapa “ghaib”?,
sebab setelah memberi koran,
tukang koran itu tidak pernah kembali lagi
padahal sebelumnya ia berjanji
untuk kembali lagi.
Peristiwa aneh itu terjadi saat
ia sedang mencuci mobil di depan rumahnya.
Tiba-tiba saja ada tukang koran
yang menawarkan koran. Karena sudah
langganan koran, Elang pun
menolak tawaran tukang koran itu dengan
mengatakan kalau ia sudah
berlangganan koran. Tapi anehnya musti sudah
mengatakan demikian, si tukang
koran itu tetap memaksa untuk membelinya,
karena elang tidak mau akhirnya
si tukang koran itu memberikan dengan
cuma-cuma kepada elang dan
berjanji akan kembali lagi keesokan harinya.
Karena diberi secara cuma-cuma,
akhirnya Elang pun mau menerimanya.
Setelah selesai mencuci mobil,
Elang langsung menyambar koran pemberian
tukang koran tadi. Setelah
membaca beberapa lembar, Elang menemukan satu
pengumuman lomba wirausaha muda
mandiri. Merasa sebagai anak muda, ia
tertantang untuk mengikuti lomba
tersebut. Elang pun membawa misi bahwa
wirausaha bukan teori melainkan
ilmu aplikatif. Saat lolos penjaringan dan
dikumpulkan di Hotel Nikko
Jakarta, Elang bertemu dengan seorang Bapak yang
anaknya sedang sakit keras di pinggir
jalan bundaran Hotel Indonesia. Elang
merasa ada dua dunia yang sangat
kontras, di satu sisi ada orang tinggal di
hotel mewah dan makan di
restoran, tapi di sisi lain ada orang yang tinggal
di jalanan. Akhirnya, pada malam
penganugerahan, tim juri memutuskan
Elanglah yang menjadi juaranya.
Padahal kalau diukur secara omset,
pendapatannya berbeda jauh dengan
para pengusaha lainnya.
Dari Juara I Wirausaha itu, Elang
membawa hadiah sebesar Rp 20 juta,
ditambah tawaran kuliah S2 di
Universitas Indonesia. Melalui lomba itu,
terbukalah jalan cerah bagi Elang
untuk menapaki dunia wirausaha yang lebih
luas.
Ingin Membawahi Perusahaan yang
Mempekerjakan 100 Ribu Orang
Perjalanan Elang dalam merintis
bisnis properti, tidak selamanya berjalan
mulus. Pada awal-awal merintis
bisnis ini, ia banyak sekali mengalami
hambatan, terutama ketika akan
meminjam modal dari Bank. Sebagai mahasiswa
biasa, tentunya perbankan merasa
enggan untuk memberikan modal. Padahal,
prospek bisnis properti sangat
jelas karena setiap orang pasti membutuhkan
rumah. “Beginilah jadi nasib
orang muda, susah orang percaya. Apalagi
perbankan. Orang bank bilang
lebih baik memberikan ke tukang gorengan
daripada ke mahasiswa,”
ungkapnya.
Meski sering ditolak bank pada
awal-awal usahanya, Elang tidak pernah patah
semangat untuk berbisnis.
Baginya, kalau bank tidak mau memberi pinjaman,
masih banyak orang yang percaya
dengan anak muda yang mau memberi pinjaman.
Terbukti dengan hasil jerih
payahnya selama ini sehingga bisa berjalan.
Ada banyak impian yang ingin
diraih Elang, di antaranya membentuk organisasi
Maestro Muda Indonesia dan
membawahi perusahaan yang mempekerjakan karyawan
100 ribu orang. Motivasi terbesar
Elang dalam meraih impian tersebut adalah
ingin menjadi tauladan bagi
generasi muda, membantu masyarakat sekitar
